Pages

June 25, 2011

Mamminasata : Konsep Pengembangan Wilayah Kota Makassar


Sudah lama rasanya konsep Mamminasata terngiang di telinga saya. Banyak kemudian harapan jika konsep ini berjalan di kemudian hari. Jalan pintas, tidak macet, tidak berdebu menjadi impian saya. Namun hingga hari ini kemacetan Makassar masih saya rasakan tiap hari. Jalan Perintis Kemerdekaan seakan hanya satu-satunya jalan penghubung Makassar - Maros (terutama bagi saya pengendara motor, yang tinggal di Antang dan bekerja di Maros).  Simpang siur mengenai proyek ini kemudian mmuncul. Apakah konsep Mamminasata akan terwujud? (jadi ji kah kodong??). Nah berikut beberapa informasi yang saya dapatkan dari hasil googleing mengenai Mamminasata yang merupakan konsep pembangunan wilayah kota Makassar.


Menurut Walikota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin, proyek jalan lingkar yang akan menggunakan anggaran APBN sebesar Rp276 miliar ini masih menunggu pembangunan dua jembatan yakni jembatan yang di atas Sungai Tallo dan kanal PDAM, sehingga ia meminta masyarakat bersabar. Proyek middle ring road ini jalan terus. Selain kedua jembatan itu, masalah yang dihadapi yakni belum terbitnya Peraturan Presiden tentang terkait megaproyek Mamminasata. Menurutnya program ini harus mendapat dukungan dari berbagai pihak sebab akan dibiayai oleh JICA dan Bank Pembangunan Jepang.

Ilham mengaku jika pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran Rp5 miliar untuk pengerjaan sebagian material jalan. Proyek pembebasan lahan ini sendiri sudah sampai 90 persen. Rencananya, pengerjaan "middle ring road" terdiri dari tembusan Jalan Perintis Kemerdekaan hingga jalan Sultan Alauddin.

Pengerjaan jalan lingkar tengah terdiri dari tembusan Jalan Perintis Kemerdekaan-Jalan Leimena (1,114 km), Jalan Leimena-Borong Raya (1,878 km), dan Jalan Borong Raya-Sultan Alauddin. Akses jalan ini diharapkan menjadi penghubung alternatif untuk mengurangi kemacetan kendaraan di jalur poros utama dari timur ke barat. Pembangunan jalur lingkar tengah ini juga akan dibarengi dengan pembuatan jalur alternatif di kawasan waduk tunggu Bitoa. Jalur itu untuk menghindari kemacetan di wilayah Kelurahan Antang dan Kecamatan Manggala. (Antara, 15 Juni 2011).

Berikut adalah rincian jalan Mamminasata :

Section A (Maros-Middle Ring Road)

Pengembangan jalan pada bagian ini adalah pelebaran jalan nasional dari 4 jalur menjadi 6 atau 8 jalur. Kecuali jalan di dalam kota Maros, 4 jalur yang ada akan dibangun kemudian. Jalur jalan dimulai di kota Maros dan melalui jalan nasional sampai ke persimpangan Jl.Ir.Sutami (dekat pintu masuk ke Kota Makassar) dan kemudian melewati Jl.Perintis Kemerdekaan sampai dengan persimpangan middle Ring Road yang direncanakan di dekat Jembatan Sungai Tallo.

Banyak bangunan dan rumah-rumah di sepanjang rute, terutama di sekitar bandara, Mandai, Biringkanaya dan Daya. Volume lalu lintas diperkirakan lebih tinggi dari jalur lain dan populasi kepadatan juga relatif tinggi. Beberapa masjid ada di sepanjang jalan dan rumah sakit umum Daya di titik lintas kota (RS Daya). Terdapat beberapa pasar besar dan kecil sehingga jalan ini sangat penting bagi kehidupan sehari-hari. Kondisi lingkungan alam dan keanekaragaman hayati flora dan fauna diasumsikan pada dataran rendah.

Dampak negatif yang signifikan adalah akuisisi tanah dan pemukiman kembali di kasus pelebaran jalan yang ada. Tampaknya kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu hal penting pada lingkungan sosial. Dimasa depan, kualitas udara dan tingkat kebisingan akan menjadi memburuk karena peningkatan volume lalu lintas. Namun, dampak positif pada penurunan kemacetan lalu lintas sangat diharapkan. Kegiatan ekonomi lokal dan pemanfaatan sumber daya lokal juga akan berdampak positif.


Section B (Middle Ring Road)

Melewati daerah perkotaan Makassar, melewati daerah kepadatan penduduk yang tinggi dan sebagian jalur jalan pada kanal drainase. Rute ini melintasi Sungai Tallo setelah memasuki Ring Road Jl.Perintis Kemerdekaan dari Tengah. Saat ini kondisi lingkungan alam dan keanekaragaman hayati relatif tinggi. Populasi penduduk dari Abdullah Daeng Sirua menuju Sungguminasa di Gowa cukup tinggi.

Kecelakaan lalu lintas adalah item penting untuk dipertimbangkan pada jalur ini. Pencemaran air dan kebisingan selama konstruksi substruktur Jembatan Sungai Tallo perlu diantisipasi. Kualitas udara dan kebisingan akan memburuk di masa depan karena meningkatnya volume lalu lintas.

Section C (Sungguminasa - National Road)

Pembangunan jalan baru sangat direkomendasikan. Rute baru melintasi Sungai Jeneberang setelah Sungguminasa. Sawah dan desa menyebar di sepanjang rute baru di selatan Sungai Jeneberang. Kepadatan populasi relatif kecil.

Section D (Boka - Takalar)

Konsep pengembangan Bagian D adalah pelebaran jalan nasional yang ada dari 2-jalur jalan menjadi 4-jalur jalan. Ada sebuah kanal irigasi di sisi timur sepanjang jalan. Dalam perjalanan ke Takalar, ada kota kecil (Limbung di Gowa dan Palleko di Takalar). Kepadatan penduduk di sepanjang sisi jalan relatif tinggi. Budidaya padi irigasi dominan sepanjang jalan. Jumlah resettlements (rumah dan bangunan) yang besar sebagai pelebaran dapat dibuat pada sisi barat karena saluran irigasi ini
terletak di sebelah timur.

Hertasning Road

Jalan Kabupaten (Bagian D dari Jalan Hertasning) yang terletak di Pattallassang di
Gowa akan diperlebar dari 2-jalur jalan menjadi 4-jalur jalan. Sawah dan budidaya tanaman dominan dan kepadatan penduduk relatif rendah.

Abdullah Daeng Sirua Road

Rute ini menghubungkan pusat Kota Makassar dengan kota baru yang disarankan (kota satelit) di Gowa dan Maros di masa depan. Ini juga akan secara langsung menghubungkan situs baru TPA Mamminasata. Rute yang diusulkan di Kota Makassar dimulai pada pusat kota di mana terdapat bangunan padat penduduk. Bagian B - Bagian D melewati sepanjang kanal air hingga Makassar/ Perbatasan Maros dan konsep proyek pembangunan jalan 2-jalur baru di ROW dari kanal PDAM atau perbaikan jalan inspeksi PDAM yang ada.















Sumber

June 24, 2011

Sejarah Kota Makassar : Tempo Dulu yang Selalu Dirindukan

 
 

Awal Kota dan bandar Makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan sekitarnya.

Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo, mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota Makassar.


Pada masa pemerintahan Raja Gowa XVI, didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian utara. Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa. Pada masa itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan. Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhannya.

Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah, India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa Saudagar Melayu berperan penting dalam perdagangan barter yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian dengan barang-barang impor. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar meningkatkan produksi komoditi pertanian. Bahkan, dalam menyerang kerajaan-kerajaan kecil lainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai kawasan pertanian lawan-tawannya, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru tersebut.

Dalam hanya seabad saja, Makassar berubah menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia. Sebagai perbandingan, pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya, Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat berkat perubahan-perubahan pada tatanan perdagangan internasional masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal pada tahun 1511, demikian pula di bagian utara Jawa semakin berkurang pengaruhnya karena kekalahan armada lautnya di tangan Portugal, serta pengkotak-kotakan jawa dengan kerajaan Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada tahun 1641, banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.


Pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan kerajaan-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.

Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I MALLINGKAANG DAENG MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah Shalat Jum’at pertama di Masjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk Agama Islam. Pada waktu bersamaan pula, diadakan Shalat Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.

Para ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu menyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langka di Eropa, yang terkumpul di Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang dipesan secara khusus
dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo untuk semakin memperluas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.

Bagi Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC, dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.

Pada beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng Ujung Pandang. Benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.

Selama dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang terlupakan. “Jan Kompeni” maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus mempertahankan diri terhadap serangan militer yang dilancarkan kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland. Bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu kumpulan kampung di pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.

Pada awalnya, kegiatan perdagangan utama di bekas Bandar Dunia ini adalah pemasaran budak serta menyuplai beras kepada kapal-kapal VOC yang menukarkannya dengan rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.

Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk mencarinya. Bahkan, sejak pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, dimana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.

Setelah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya terjadi kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar internasional. Dengan semakin berputarnya roda perekonomian Makassar, jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang penulis Inggris-Polandia terkenal), dan menjadi salah satu port of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.


Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah-daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi Selatan, dan sebagai akibatnya ekonomi berkembang dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.

Perang Dunia Kedua dan pendirian Republik Indonesia sekali lagi mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an menjadikannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan pasca revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih dari setengahnya merupakan pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha.

Membaca sejarah Makassar, saya jadi merindukan Makassar tempo dulu.



 

Sumber : Pemkot Makassar

June 23, 2011

Tari Ganrang Bulo [khas Makassar]



Gandrang Bulo, atau bahasa okkotsnya Ganrang Bulo (entah yang mana yang okkots) merupakan kesenian rakyat asli Makassar yang menggabungkan unsur musik, tarian dan dialog kritis nan kocak. Bagi para senimannya, panggung menjadi tempat berkisah mengenai masalah hidup mereka sehari-hari. Tak jarang kisah-kisah humor mereka bawakan, diselingi dengan celetukan-celetukan kritis dan gerak tubuh yang membuat penonton tertawa lepas. Sasaran guyonan mereka pun tak pandang bulu, mulai dari pejabat pemerintah, tentara, dokter, sampai kepala desanya. Demikian juga tema-tema yang diangkat mulai dari politik hingga berbagai peristiwa yang mereka alami sehari-hari.

Gandrang Bulo menjadi tempat mengeluarkan unek-unek, merespon kondisi sosial di sekitarnya. Sebagian besar seniman Gandrang Bulo berasal dari masyarakat pinggiran yang acapkali menghadapi kesulitan-kesulitan saat berhadapan dengan para pejabat seperti kepala desa, tentara, dokter atau oknum-oknum pemerintah yang tak menghiraukan mereka. Merasa tak berdaya mereka tak menyikapi langsung dalam kehidupan nyata, tapi dengan cerdas menampilkannya di atas panggung.


Contoh Lakon : Dotto-dottoro' (dokter-dokteran)

Seseorang yang berpakaian dokter nampak bercakap-cakap dengan pasiennya, yang sayangnya sang pasien tak memahami bahasa si dokter. Lalu datanglah si mantri menjadi penerjemah. Celakanya si mantri kampung itu justru memanfaatkan kebodohan sang pasien. Ketika sang dokter, dengan bahasa asing pula, meminta bayaran, sang mantri menyampaikan kepada sang pasien dengan harga dua kali lipat. Sang pasienpun manggut-manggut lalu menyodorkan beberapa lembar uang sambil menggerutu: “alle dokttoro pallabusu doi!”, ambillah dokter pengeruk uang, katanya. Si dokter lantas mengeluarkan perlengkapan medisnya, sebuah alat suntik dan alat bedah. Namun, yang tak lazim, ternyata alat bedahnya sebuah gergaji dan tang runcing serta alat suntiknya dari semprot serangga. Si pasien pun melihat kaget, terbelalak, dan pingsan!

Ya, suara kaum pinggiran, mungkin itu yang hendak ditandaskan para seniman Gandrang Bulo ini. Masyarakat pinggiran yang ternyata memiliki cara sendiri dalam merespon berbagai tekanan sosial dan struktural yang menimpanya. Lewat Gandrang Bulo, mereka secara satiris menertawakan kehidupan dan menggugat persoalan dalam rupa humor yang menghibur.

Pada awalnya Gandrang Bulo sebenarnya sekadar tarian yang diiringi oleh gendang. Seiring waktu tarian ini diiringi pula lagu-lagu jenaka, dialog-dialog humor namun sarat kritik dan ditambah gerak tubuh yang mengundang tawa. Kadangpula diselipkan Tari Se’ru atau Tari Pepe pepeka ri makka yang acap kali tampil sendiri di berbagai panggung pertunjukan, namun begitu oleh masyarakat sekitar tetap saja ia dikenal sebagai bagian pertunjukan Gandrang Bulo.

Perubahan Gandrang Bulo untuk merespon dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Sekitar 1942, ketika perang melawan penjajah berkobar, kaum seniman pun tak mau kalah. Mereka membangun basis-basis perlawanan dari atas panggung. Gandrang Bulo pun disulap bukan sekadar tari-tarian, melainkan tempat pembangkit semangat perjuangan dengan mengejek dan menertawakan penjajah dan antek-anteknya. Gandrang Bulo, ketika itu, lantas menjadi kesenian rakyat yang amat populer. Baru sekitar akhir 1960-an, Gandrang Bulo mengalami kreasi ulang. Kreasi baru itu dikomandani oleh Dg Nyangka, seniman asal Bontonompo, Gowa. Mulai saat itu Gandrang Bulo dikenal dalam pentas-pentas tarian dalam acara-acara seremonial. Gandrang Bulo macam inilah yang belakangan ini kerap tampil di acara-acara resmi pemerintah maupun partai-partai politik.

Namun begitu, meski diterpa berbagai perubahan, toh Gandrang Bulo Ilolo Gading maupun Gandrang Bulo 1942 ini tak pernah kehilangan tempat. Grup-grupnya tersebar di berbagai tempat seperti Gowa, Makassar, Maros, dan Takalar. Akhirnya, Gandrang Bulo menjadi tempat bebas seniman kampung mengekspresikan problem mereka sehari-hari.

Lirik lagu Tari Ganrang Bulo (Bahasa Makassar)

Ri pantarang ma.. enja'
nanu pongori illa
nu ta' lobo-lobo ta' lobo-lobo
sallayya' ni panggalla ma dendee...

sanging karaeng ma'.. mempo..
sanging daeng ma' jaja...
di tabe' karaeng.. tabe' kareng..
na ma' kelongi anta ma' dendee...

nia' ma' annee.. ri bioonta'...
engko ma' ri paralluta ri dendang..
engko ma' ri paralluta ri dendang...
elele.... unte'.. baji' kaana...
ala ni ma polo aja ri dendang...
ala ni ma polo aja ri dendang...

Battuu rate ma ri buulang...
ma' rencong-rencong.. ma' rencong-rencong....
na ku ta'nang ri bintoooeng.....
ala makayya na ma' dendang aule...
bunting lampo jako saallang
punna tena malla' doang' (dunk-dunk2X dunk)
bue para mata binkunna'(dunk-dunk2X dunk)

Cucu' ra'na jii ma' loompo...
ma' rencong-rencong.. ma' rencong-rencong....
ilana malla' mallii..no....
boosi.. sarrona yasi dendang aule....
punna lliang tompo baangkeng'
punna te a malla' dosa..(dunk-dunk2X dunk)
bue para mata bingkunna..(dunk-dunk2X dunk)

ala dendang dendang ikatte... passikollayya'
ala dendang dendang lillalle tapi ambakku na ni ta' do'do'
masukke nawa-nawa ta nia ta' do'do'

ala dendang dendang ri boya.. baji' rii booya..
ala dendang dendang I yawa baji ri rawa ri miccui na ia mintu'
panna la'be na ruginna ma ji ta' do'do'

ala dendang dendang manna mo.. na nana'a.. jae'
ala dendang dendang mattotor rantau bali matta na' ia'
punna tena sikolanna mae ta' do'do'




Sumber :
http://allmysurf.blogspot.com/2010/01/tari-gandrang-bulo.html
http://rachmat-ag.blogspot.com/2010/12/lirick-lagu-tari-ganrang-bulo.html

June 19, 2011

Fasilitas Kamar Asrama Pelatihan yang Memadai

 

Banyak dari anda yang mungkin pernah mengikuti suatu pelatihan, entah itu pelatihan formal maupun non formal. Pelatihan diselenggarakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, membuat peserta pelatihan tahu dan terlatih mengenai yang dilatihkan. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya dibutuhkan suasana kondusif dalam pelatihan. Salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah fasilitas kamar asrama. Jika kamar dan segala fasilitasnya memadai, tentu saja peserta pelatihan akan merasa nyaman sehingga dapat mencapai tujuan pelatihan sesuai yang diharapkan.



Banyak pilihan tempat untuk mengadakan pelatihan mulai dari yang paling murah hingga yang mahal. Tentu saja semakin mahal, semakin baik fasilitas yang diberikan. Fasilitas termahal tentu saja dimiliki oleh hotel berbintang lima, tapi yang mahal belum tentu baik. Menurut saya ada beberapa standar asrama pelatihan (khususnya asrama) yang dapat dikatakan baik dan memenuhi standar, antara lain :

One man one room
Satu orang satu kamar. Saya dengan sangat senang hati memilih "hidup" sendiri di kamar daripada berbagi dengan orang lain apalagi orang yang tidak kita kenal. Tugas-tugas perorangan akan lebih mudah dikerjakan dan diselesaikan. Namun hal ini tidak berlaku pada tugas kelompok. Namun demikian menurut saya soal kamar pelatihan, jauh lebih nyaman sendiri daripada berbagi.

Toilet dalam kamar
Peserta pelatihan akan merasa sangat nyaman bila privasinya terjaga selama pelatihan. Soal mandi dan buang air merupakan hal yang sangat privasi. Dijamin peserta pelatihan akan malas mandi dan buang air jika tidak ada toilet di kamarnya. Yang lebih nyaman lagi adalah jika ada fasilitas air panas, bahkan bak mandi di toilet. Peserta pelatihan pastinya merasa sangat dimanjakan.

Fasilitas penunjang lain
Sebaiknya ada beberapa hal lain yang sebaiknya ada di kamar pelatihan, antara lain:
- penerangan lampu yang cukup
- fasilitas internet gratis
- televisi, sebagai sarana hiburan dan informasi
- telepon, minimal antar kamar dan petugas informasi
- meja belajar
- lemari pakaian
- brankas
- kulkas mini. Kalau tidak ada kulkas, minimal fasilitas air panas dan dingin siap minum selama 24 jam
- laundry, tidak perlu dalam kamar, namun satu mesin cuci untuk seluruh asrama saya rasa sudah cukup
- Tempat sampah
- pendingin kamar (AC atau kipas angin)
- hanger pakaian
- Rak buku dan dokumen
- Termos, gelas, dan perlengkapan minum.











Semangat mengikuti pelatihan, semoga lancar dan sukses!!!

June 10, 2011

Menikah dan Masa Depan

Menikah dan masa depan. Apakah kedua hal ini saling berkaitan ? Dapatkah dibuktikan secara empiris ? Pun jika berkaitan, apakah menikah berbanding lurus dengan masa depan ? Bukankah banyak orang bilang : Menikahlah segera, niscaya pintu rejekimu akan terbuka lebar.

Menikah adalah saat-saat yang paling ditunggu oleh semua orang yang belum mengalaminya. Tapi, apakah fungsi menikah selain menyempurnakan ibadah, mempunyai harapan memiliki keturunan, dan menghindari dosa ? Menurut saya adalah soal masa depan.

Orang berharap (terutama saya sendiri) hidupnya akan lebih baik bila sudah menikah, minimal tetap, tidak malah menjadi lebih buruk. Saya tidak terlalu banyak berbicara mengenai immateri seperti hidup saya akan lebih baik karena ada yang memperhatikan, ada yang mengurus, masalah akan lebih mudah terpecahkan jika dihadapi berdua ataupun masalah lainnya. Agak naif memang karena saya akan berbicara mengenai harta (uang) dan tahta (jabatan), tapi saya tidak mau munafik, saya (bahkan mungkin anda semua) butuh ini walaupun uang dan jabatan hanyalah prioritas kesekian setelah tauhid, keimanan, dan hubungan antar sesama manusia.

Ya, masa depan sangat identik dengan uang dan jabatan bagi penganut paham materialistis. Jika sudah menikah nanti, apakah saya bisa mencari lebih banyak uang dan mendapatkan jabatan ? Ataukah tetap ? Atau malah semuanya akan hilang ?

Sekarang saya memang belum (cukup) mendapatkan semuanya. Uang masih pas-pasan dan belum ada jabatan yang diamanahkan kepada saya. Namun, setelah lebih dari setengah dasawarsa malang-melintang di dunia per-pegawaian, kesabaran dalam bertugas, dan ilmu yang dimiliki dari berbagai pelatihan, tidak menutup kemungkinan semua itu akan datang dengan sendirinya, suatu saat.

Teringat sebuah percakapan antara seorang cowok (sebut saja Co) dan seorang cewek (sebut saja Ce) yang akan menikah beberapa bulan lagi. Co adalah seorang PNS di sebuah daerah pinggiran kota (Maros), Ce adalah seorang pegawai kontrak di sebuah kota besar (Makassar). Setiap hari kerja selama 5 tahun Co rajin ke kantor, bolak-balik Maros-Makassar (bolak-balik dengan berbagai alasan).

Ce : Sayang, saya mau mendaftar jadi pegawai bank swasta.
Co : Boleh, dimana ?
Ce : Di Wajo (Wajo adalah kota kecil, 200an kilometer dari Makassar)
Co : Kita kan mau nikah ?
Ce : Tidak masalah, pihak bank tetap menerima, peluangnya besar lohh..
Co : Hmm...pikir-pikirlah dulu, Wajo jauh kann..
Ce : Tapi, sy sdh janji sama kakak yang menguruskannya..
Co : Yang mau kerja kakak atau sayang sihh?? (Sambil bercanda)
Ce : Tadi tidak sengaja, ngomong keceplos sama kakak bilang "iya".
Co : Oh, jadi awalnya sudah deal sama kakak baru ngomong minta izin sama saya ? (Mulai jengkel)
Ce : Kalau mau dibatalkan, sayang saja yang ngomong sama kakak (mulai emosi juga).
Co : Tidak ahh, males ngomong sama kakak.. Kalau begitu, terserah sayang saja dehh.. (Acuh tak acuh, tidak ikhlas).
(Pembicaraan terhenti sejenak, hening......)
Ce : Sayang, bisa ndak sayang pindah dari Maros ?
Co : Bisalah, lebih cepat kalau ada channel.. Pindah kemana ?
Ce : Ke Wajo lahh, gmana ketemunya kalau sayang di Maros trus saya di Wajo ??
Co : Ohhh.. Sy kira pindah ke Makassar.. Hihi (senyum kecut).. Mengapa bukan sayang saja yang pindah ke Makassar ? Kalau sayang pindah kan saya juga pindah ke Makassar, kan lebih asyik begitu. Lagian sayang lebih mudah pindahnya, istri ikut suami kan..
Ce : Tapi, pihak bank membutuhkan tenaga penempatan Wajo, sepertinya sulit pindah.
Co : Oh begitu... (Tanpa mau "memperbesar masalah")
Hmm.. Gmana yahh.. Bolehlahh.. (Dengan suara tertahan, berpikir keras dan membayangkan tinggal berdua dengan istri tercinta di "desa").

Ada kekhawatiran di benak Co apabila pindah. Tidak terlalu masalah pindah dari "desa" ke "kota", yang masalah adalah dari "kota" ke "desa", rugi rasanya. Bukankah kita lebih baik soal akses informasi jika tinggal di "kota"? Terus, butuh adaptasi ekstra mengingat si Co dan Ce sudah terbiasa hidup di kota. Terus, masalah karir pastinya dimulai lagi dari nol, karena sangat sulit membangun kepercayaan big boss, apalagi di desa. Terus, siapa yang jaga orang tua yang tinggal di kota. Terus, tidak ada jaminan si Co dan Ce akan bersama-sama didesa, si Ce tentu saja ditempatkan di pusat "desa", lain halnya dengan Co yang bisa saja "dilempar" ke pedalaman desa, kalau begini kan sama saja bohong.

Tapi, keputusan telah diambil, Co mengijinkan Ce melamar bank di desa, dengan berbagai pertimbangan tentunya. Akhirnya, menikah sajalah dulu, Allah SWT pastinya menyimpan berbagai kisah indah di masa depanmu, setelah menikah.

June 7, 2011

Mengintip Lokasi TPA Sampah Tamangapa Makassar



Saya tinggal dekat dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Tamangapa Makassar, sekitar 3 km. inilah faktanya !!! Terkadang (walaupun tidak sering), bau sampah dan asap yang menyengat masuk ke dalam rumah, sangat mengganggu. Saya lalu membayangkan warga yang berada dalam radius 1 km dari TPA, hmmm.. Namun, tak ada pilihan lain, bukankah saya (orang tua saya tepatnya) memilih untuk tinggal di kompleks perumahan ini jauh hari sebelum pemerintah ”menyimpan” sampah kota di sekitar rumah kami ? Saya tinggal disini sejak tahun 1989. Antang (Perumnas antang, rumah saya), sekarang sudah sangat identik dengan sampah, pedalaman, kadang diolok-olok. Padahal jika tak ada TPA di sini, mungkin seluruh warga ”kota” sudah bingung dan pasti memilih membuang sampahnya ke laut. ”…….piko laut Boss!!!...” *masihmenggerutu*

Karena penasaran, di Hari Lingkungan Hidup Sedunia kemarin (5 Juni 2011) saya ”memberanikan” diri ke lokasi TPA, sekadar melihat-lihat dan mengambil gambar kondisi di dalam TPA. Sambil Nyopas, jadilah tulisan ini, berikut hasil ”intipan” saya.


Dengan jumlah penduduk lokal mencapai sekitar 1,3 juta jiwa, kota Makassar menghasilkan sekitar 3800 m3 sampah perkotaan setiap harinya. Padahalkapasitas maksimum dari TPA Tamangapa hanya sekitar 2,800 m3 sampah perkotaan setiap harinya. Lahan TPA tambahan akan diperlukan untuk pembuangan 1000 m3 sisa sampah. Sebagian besar sampah berasal dari aktivitas penduduk seperti di pasar, pusat perdagangan, rumah makan, dan hotel.

Sekitar 87% sampah di Makassar merupakan sampah organik dan sekitar 13% adalah sampah anorganik, seperti plastik dan kertas. Dengan perkiraan jumlah penduduk yang akan mencapai sekitar 1,5 juta jiwa di tahun 2007 dan 2,2 juta jiwa pada tahun 2015, dan rata-rata produksi sampah tiap orang sekitar 0.3 m3 per hari, diperkirakan akan dihasilkan total 4,500 m3 sampah tiap hari. Ini akan menjadi masalah yang serius apabila tidak terdapat rencana dan pengelolaan sampah padat perkotaan yang memadai.

TPA Tamangapa bertempat di wilayah Tamangapa, Kecamatan Manggala, 15 km dari pusat kota Makassar. TPA memiliki luas lahan sekitar 14,3 ha dan hanya 70% dari kapasitas keseluruhan TPA yang digunakan. TPA Tamangapa didirikan tahun 1993 dan dipertimbangkan sebagai satu-satunya TPA di kota Makassar.

Sebagian besar sampah perkotaan yang diolah di TPA berasal dari sampah rumah tangga, sampah pasar, sampah perkantoran, dan sampah pusat perbelanjaan. Secara administratif, TPA ini berada di wilayah Tamangapa, Kecamatan Manggala. Lahan TPA berlokasi sangat dekat dengan daerah perumahan sehingga sering timbul keluhan dari penduduk setempat terkait dengan bau tak sedap yang berasal dari TPA, terutama pada saat musim hujan. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk setempat, sebagian besar mengeluh soal bau tak sedap.

Terdapat beberapa pusat aktivitas dan perumahan seperti tempat ibadah dan sekolah, dan perkantoran yang berlokasi di sekitar 1 km dari lokasi proyek. Semenjak tahun 2000, berbagai perumahan telah didirikan, seperti Perumahan Antang, Perumahan TNI Angkatan Laut, Perumahan Graha Janah, Perumahan Griya Tamangapa, dan Perumahan Taman Asri Indah yang berlokasi berdekatan dengan TPA Tamangapa. Terdapat dua buah rawa yang berdekatan dengan perumahan tersebut, yaitu Rawa Borong yang berlokasi di sebelah utara dan Rawa Mangara yang bertempat di sebelah timur. Air dari Rawa Mangara mengalir menuju Sungai Tallo dan air dari Rawa Borong mengalir menuju saluran air Borong.

Sebelum Tamangapa dibangun sebagai lahan TPA, pada tahun 1979, sampah padat perkotaan dibuang di Panampu, Kecamatan Ujung Tanah. Mengingat keterbatasan wilayah dan lokasinya yang dekat dengan laut, tempat pembuangan sampah itu dipindahkan ke Kantinsang, Kecamatan Biringkanaya pada tahun 1980, karena telah menurunkan kualitas air. Pada tahun 1984, pemerintah lokal membangun TPA baru di Tanjung Bunga, Kecamatan Tamalate. Akan tetapi, pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan pendirian wilayah perumahan di sekitar Kecamatan Tamalate mendorong pemerintah lokal untuk membangun Tamangapa sebagai lahan TPA untuk kota Makassar pada tahun 1992.

TPA Tamangapa merupakan tempat pembuangan sampah utama bagi penduduk kota Makassar. Dengan memperhitungkan peningkatan volume sampah di masa depan, pemerintah kota Makassar berencana untuk memperluas lahan TPA. Kota Makassar telah mengalokasikan dana sekitar US$ 60,000 pada tahun 2007 guna mendapatkan 3-4 ha area tambahan untuk TPA. Dengan penambahan area tambahan ini, luas lahan TPA bertambah menjadi sekitar 18 ha pada tahun 2007.


Deskripsi
Lahan / Kondisi / Status
Nama Lahan
TPA Tamangapa

Lokasi
Kelurahan Tamangapa

Tahun Beroperasi
1993

Luas Wilayah
14,3 ha

Proses
TPA berdasarkan kebutuhan

Status Lahan
Dimiliki oleh Pemerintah Lokal

Jarak ke Perumahan Terdekat
0,50 km

Jarak ke sungai
3 km

Jarak ke pantai
14 km

Jarak ke lapangan udara
30 km

Topografi
Sebagian besar horizontal

Dokumen Lingkungan
AMDAL Tahun 1997

Metode Pengelolaan TPA
TPA yang terkontrol

Kapasitas
Kapasitas
Pembuangan
2.871,84 m3/hari

Penggunaan
70 % dari luas lahan
Lapisan Impermeabel
Padatan tanah liat

Total Sumur Pengamat
3 unit

Fasilitas Pengumpulan Gas
Pipa Gas (tipe PVC)

Kendaraan Berat
Bulldozer
4

Front End Loader
0

Excavator
1
Fasilitas Bangunan
Kantor
1 ( 2 x 4 m2)

Pusat Pengobatan
1

Kolam Renang
1 (100 m2)
Aktivitas Pemulung
Total pemulung
291
(95 % dari suku Makassar)

Total pengumpul
7 orang
Sumber: Dinas Kebersihan Pemerintah Makassar, 2007

Masalah yang paling signifikan yang timbul dari TPA adalah cairan lindi (leachate), bau yang tidak enak, lalat, dan asap dari pembakaran sampah, yang menimbulkan keluhan dari masyarakat setempat. Selama ini, tidak pernah terjadi kasus longsoran tanah dan longsoran sampah di lokasi TPA.

Nah, berikut hasil bidikan saya


Di "lubang besar" di ujung TPA, saya terkaget melihat banyaknya pemulung disini, mengais sampah yang baru terjun dari truk sampah.


Ternyata, sapi doyan makan sampah. Puluhan Sapi menyampah disini. Tiap hari datang pagi pulang sore.


Nun dekat disana rumah saya, entah tahun berapa TPA akan "menyentuh" rumah saya.



Sampah yang menggunung, bahaya longsor sampah senantiasa mengancam







Lihat Peta Lebih Besar

Referensi :
Pemerintah Kota Makassar 
Yasir